“Ambillah dari harta-harta benda mereka zakat untuk membersihkan dan menyucikan mereka dengan zakat itu.” (QS 9: 103)
SECARA harfiyah, zakat yang berasal dari kata tazkiyah
artinya suci atau menyucikan. Berdasarkan firman Allah SWT yang dikutip
di atas, membayar zakat dimaksudkan untuk menyucikan, bukan saja diri
sendiri tapi juga harta kekayaan yang dimiliki. Adapun yang dimaksud
menyucikan diri adalah menyucikan hati dari sifat-sifat buruk yang
berkaitan dengan harta seperti sifat kikir dan rakus.
Zakat merupakan ibadah yang menyangkut harta-benda dan berfungsi
sosial. Pentingnya ibadah ini tercermin dalam diposisikannya sebagai
urutan ketiga dalam “rukun Islam”, setelah syahadat dan shalat. Banyak
sekali, bahkan hampir selalu, ayat al-Quran yang menyebut kata zakat
digandengkan setelah shalat. Itu menunjukkan, kedua jenis ibadah mahdhah
ini mempunyai kedudukan sangat penting dan berhubungan erat. Jika
shalat merupakan ibadah jasmaniyah yang terutama, maka zakat merupakan
ibadah (dengan media) harta yang paling utama.
Orang yang mengabaikan pembayaran zakat bahkan dihukumi kufur alias
inkar dari Islam. Ia dianggap memberontak terhadap hukum agama (Islam)
yang karenanya harus diperangi hingga ia patuh, seperti yang pernah
terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq.
Zakat merupakan manifestasi rasa syukur pada Allah SWT atas
nikmat-Nya berupa limpahan harta-kekayaan. Dengan demikian, zakat pun
merupakan pendidikan bagi umat manusia untuk menjadi hamba Allah yang
pandai bersyukur.
Pelenyap Kecemburuan Sosial
Zakat merupakan kewajiban orang-orang yang mampu (kaya) –jika jumlah
harta mereka sudah sampai pada nilai tertentu atau batas minimal
(nisab), dan merupakan hak mereka yang tidak mampu atas orang-orang
kaya. Hal itu berdasarkan QS at-Taubah (9): 60 dan 103.
Zakat juga merupakan pendidikan bagi umat Islam agar menyucikan
dirinya dari sifat-sifat bakhil (kikir) dan rakus. Sebaliknya, mendidik
manusia untuk bersifat dermawan atau pemurah. Sifat mulai itulah yang
bisa melenyapkan kecemburuan sosial si miskin atas di kaya. Cukup banyak
ayat Quran yang mencela sifat kikir dan memuji sifat dermawan. Di
antaranya,
“Siapa yang terjaga dari kekikiran jiwanya, maka merekalah orang-orang yang bahagia.” (QS 59:9.
Lih. juga QS 3:180, 9:34, 2:261-262 dan 263)
“Sesungguhnya yang dermawan itu dekat pada Allah, pada manusia,
pada surga, dan jauh dari neraka. Sesungguhnya orang kikir jauh dari
Allah, manusia, surga, dan dekat ke neraka. Seseorang yang bodoh tapi
dermawan lebih dicintai Allah daripada orang alim yang pandai tapi
kikir. Penyakit yang paling parah adalah kikir.” (HR Tirmidzi dan Daruqutni)
Secara sosial, ibadah zakat menunjukkan bahwa harta yang dimiliki
seseorang mengandung fungsi sosial dan ada hak orang lain, dalam hal ini
mustahiq zakat, di dalam harta yang dimiliki. Fungsi sosial dimaksud
antara lain membantu kaum dhu’afa secara materi, meminimalisir atau
bahkan menghilangkan gap (jurang pemisah) kaya-miskin, serta menumbuhkan
kasih-sayang atau perhatian terhadap kaum miskin dan masalah
kemiskinan.
Bagi pembayar zakat, atau mereka yang berkewajiban menunaikan zakat,
ibadah harta ini mendidiknya untuk “berjiwa sosial”, memiliki rasa
kesetiakawanan sosial atau solidaritas sosial, dan menumbukan kesadaran
bahwa harta hanyalah “titipan” (amanah) dari Allah SWT bagi
kesejahteraan bersama, bukan semata kesejahteraan dirinya secara
ekonomi.
Salah satu tujuan zakat adalah “agar (harta) tidak hanya beredar di
antara orang-orang kaya di antaramu” (QS 59:7). Islam tidak menghendaki
adanya penumpukan kekayaan di tangan sekelompok orang (kaya). Karena,
selain akan menimbulkan kecemburuan sosial, ketimpangan kaya-miskin, dan
keresahan sosial, juga akan menimbulkan berbagai bentuk kejahatan.
Kekayaan yang berlebihan di tangan pribadi bisa mendorong hidup
bermewah-mewahan, foya-foya, keangkuhan, dan “menyelesaikan segala
urusan dengan uang”. Apalagi, uang adalah “kekuasaan abadi”. Ada
ungkapan, “dengan uang segalanya bisa diatur”.
Dengan dikeluarkannya zakat, orang miskin –yang menjadi mustahiq–
akan turut menikmati kekayaan seseorang. Dengan begitu, kecemburuan
sosial bisa diminimalisir, kalau tidak bisa dihilangkan sama sekali.
Komitmen Islam atas Kaum Dhu’afa
Kewajiban membayar zakat menunjukkan bahwa Islam merupakan agama
pembebas dan pembela kemanusiaan sejati, dan memperhatikan secara khusus
kepentingan kaum dhu’afa. Berbicara kaum dhu’afa, harus dikaitkan erat
dengan ihwal zakat –selain infaq dan shadaqah. Karena, kaum dhu’afa-lah
yang menjadi mustahiq utama dan pertama harta zakat itu.
Meningkatkan harkat kaum dhu’afa adalah tugas umat Islam, khususnya
orang-orang kaya. Pengamalannya antara lain dengan pengeluaran zakat
itu. Kewajiban zakat menunjukkan sifat Islam yang berorientasi pada kaum
dhu’afa, yaitu mereka yang lemah atau tetindas secara ekonomi –juga
politik. Firman Allah SWT,
“Dan janganlah kamu palingkan kedua matamu dari mereka (kaum dhu’afa)!” (QS 18:28. Lih. juga QS 107:1-3, 93:9-10)
Sejarah Islam mencatat, kaum dhu’afa adalah generasi pertama pemeluk
Islam dan pembela dakwah Rasulullah. Dengan demikian, kaum dhu’afa
memainkan peranan penting dalam kejayaan Islam. Makanya, Islam pun
sangat memperhatikan mereka.
Urgensi memperhatikan kaum dhu’afa semakin terasa manakala kita
menyaksikan banyak mereka yang terayu oleh materi sehingga menukarkan
akidah dengan akidah agama lain. Benar kata Nabi SAW, kaadal faqru an
yakuuna kufra, kemelaratan mendekatkan pada kekafiran (HR Abu Na’im).
Selain itu, kemelaratan pun bisa mendorong timbulnya perbuatan
kemaksiatan atau tindak kriminal.
Demikianlah, pembayaran dan pengelolaan zakat merupakan salah satu
cara Islam untuk mengatasi kemiskinan, memperpendek jurang kaya-miskin,
melenyapkan kecemburuan sosial, membela kaum lemah, dan menciptakan
pemerataan sosial-ekonomi. Hikmah ibadah zakat itu akan terasa mulia dan
luhur nilainya, manakala yang wajib mengeluarkan melaksanakannya dengan
baik, dan pengelolanya pun menyalurkan dan mengelola zakat dengan baik
pula.Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar