Rabu, 19 Oktober 2011

Zakat, Komitmen Islam atas Kaum Dhu'afa

“Ambillah dari harta-harta benda mereka zakat untuk membersihkan dan menyucikan mereka dengan zakat itu.” (QS 9: 103)

SECARA harfiyah, zakat yang berasal dari kata tazkiyah artinya suci atau menyucikan. Berdasarkan firman Allah SWT yang dikutip di atas, membayar zakat dimaksudkan untuk menyucikan, bukan saja diri sendiri tapi juga harta kekayaan yang dimiliki. Adapun yang dimaksud menyucikan diri adalah menyucikan hati dari sifat-sifat buruk yang berkaitan dengan harta seperti sifat kikir dan rakus.
Zakat merupakan ibadah yang menyangkut harta-benda dan berfungsi sosial. Pentingnya ibadah ini tercermin dalam diposisikannya sebagai urutan ketiga dalam “rukun Islam”, setelah syahadat dan shalat. Banyak sekali, bahkan hampir selalu, ayat al-Quran yang menyebut kata zakat digandengkan setelah shalat. Itu menunjukkan, kedua jenis ibadah mahdhah ini mempunyai kedudukan sangat penting dan berhubungan erat. Jika shalat merupakan ibadah jasmaniyah yang terutama, maka zakat merupakan ibadah (dengan media) harta yang paling utama.
Orang yang mengabaikan pembayaran zakat bahkan dihukumi kufur alias inkar dari Islam. Ia dianggap memberontak terhadap hukum agama (Islam) yang karenanya harus diperangi hingga ia patuh, seperti yang pernah terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq.
Zakat merupakan manifestasi rasa syukur pada Allah SWT atas nikmat-Nya berupa limpahan harta-kekayaan. Dengan demikian, zakat pun merupakan pendidikan bagi umat manusia untuk menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur.

Pelenyap Kecemburuan Sosial

Zakat merupakan kewajiban orang-orang yang mampu (kaya) –jika jumlah harta mereka sudah sampai pada nilai tertentu atau batas minimal (nisab), dan merupakan hak mereka yang tidak mampu atas orang-orang kaya. Hal itu berdasarkan QS at-Taubah (9): 60 dan 103.
Zakat juga merupakan pendidikan bagi umat Islam agar menyucikan dirinya dari sifat-sifat bakhil (kikir) dan rakus. Sebaliknya, mendidik manusia untuk bersifat dermawan atau pemurah. Sifat mulai itulah yang bisa melenyapkan kecemburuan sosial si miskin atas di kaya. Cukup banyak ayat Quran yang mencela sifat kikir dan memuji sifat dermawan. Di antaranya,

“Siapa yang terjaga dari kekikiran jiwanya, maka merekalah orang-orang yang bahagia.” (QS 59:9. 
Lih. juga QS 3:180, 9:34, 2:261-262 dan 263)

“Sesungguhnya yang dermawan itu dekat pada Allah, pada manusia, pada surga, dan jauh dari neraka. Sesungguhnya orang kikir jauh dari Allah, manusia, surga, dan dekat ke neraka. Seseorang yang bodoh tapi dermawan lebih dicintai Allah daripada orang alim yang pandai tapi kikir. Penyakit yang paling parah adalah kikir.” (HR Tirmidzi dan Daruqutni)

Secara sosial, ibadah zakat menunjukkan bahwa harta yang dimiliki seseorang mengandung fungsi sosial dan ada hak orang lain, dalam hal ini mustahiq zakat, di dalam harta yang dimiliki. Fungsi sosial dimaksud antara lain membantu kaum dhu’afa secara materi, meminimalisir atau bahkan menghilangkan gap (jurang pemisah) kaya-miskin, serta menumbuhkan kasih-sayang atau perhatian terhadap kaum miskin dan masalah kemiskinan.
Bagi pembayar zakat, atau mereka yang berkewajiban menunaikan zakat, ibadah harta ini mendidiknya untuk “berjiwa sosial”, memiliki rasa kesetiakawanan sosial atau solidaritas sosial, dan menumbukan kesadaran bahwa harta hanyalah “titipan” (amanah) dari Allah SWT bagi kesejahteraan bersama, bukan semata kesejahteraan dirinya secara ekonomi.
Salah satu tujuan zakat adalah “agar (harta) tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya di antaramu” (QS 59:7). Islam tidak menghendaki adanya penumpukan kekayaan di tangan sekelompok orang (kaya). Karena, selain akan menimbulkan kecemburuan sosial, ketimpangan kaya-miskin, dan keresahan sosial, juga akan menimbulkan berbagai bentuk kejahatan. Kekayaan yang berlebihan di tangan pribadi bisa mendorong hidup bermewah-mewahan, foya-foya, keangkuhan, dan “menyelesaikan segala urusan dengan uang”. Apalagi, uang adalah “kekuasaan abadi”. Ada ungkapan, “dengan uang segalanya bisa diatur”.
Dengan dikeluarkannya zakat, orang miskin –yang menjadi mustahiq– akan turut menikmati kekayaan seseorang. Dengan begitu, kecemburuan sosial bisa diminimalisir, kalau tidak bisa dihilangkan sama sekali.

Komitmen Islam atas Kaum Dhu’afa

Kewajiban membayar zakat menunjukkan bahwa Islam merupakan agama pembebas dan pembela kemanusiaan sejati, dan memperhatikan secara khusus kepentingan kaum dhu’afa. Berbicara kaum dhu’afa, harus dikaitkan erat dengan ihwal zakat –selain infaq dan shadaqah. Karena, kaum dhu’afa-lah yang menjadi mustahiq utama dan pertama harta zakat itu.
Meningkatkan harkat kaum dhu’afa adalah tugas umat Islam, khususnya orang-orang kaya. Pengamalannya antara lain dengan pengeluaran zakat itu. Kewajiban zakat menunjukkan sifat Islam yang berorientasi pada kaum dhu’afa, yaitu mereka yang lemah atau tetindas secara ekonomi –juga politik.  Firman Allah SWT,

“Dan janganlah kamu palingkan kedua matamu dari mereka (kaum dhu’afa)!” (QS 18:28. Lih. juga QS 107:1-3, 93:9-10)

Sejarah Islam mencatat, kaum dhu’afa adalah generasi pertama pemeluk Islam dan pembela dakwah Rasulullah. Dengan demikian, kaum dhu’afa memainkan peranan penting dalam kejayaan Islam. Makanya, Islam pun sangat memperhatikan mereka.

Urgensi memperhatikan kaum dhu’afa semakin terasa manakala kita menyaksikan banyak mereka yang terayu oleh materi sehingga menukarkan akidah dengan akidah agama lain. Benar kata Nabi SAW, kaadal faqru an yakuuna kufra, kemelaratan mendekatkan pada kekafiran (HR Abu Na’im). Selain itu, kemelaratan pun bisa mendorong timbulnya perbuatan kemaksiatan atau tindak kriminal.
Demikianlah, pembayaran dan pengelolaan zakat merupakan salah satu cara Islam untuk mengatasi kemiskinan, memperpendek jurang kaya-miskin, melenyapkan kecemburuan sosial, membela kaum lemah, dan menciptakan pemerataan sosial-ekonomi. Hikmah ibadah zakat itu akan terasa mulia dan luhur nilainya, manakala yang wajib mengeluarkan melaksanakannya dengan baik, dan pengelolanya pun menyalurkan dan mengelola zakat dengan baik pula.Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar